"Aku kembali, pada ruas jalan yang sebagaimana aku melangkah menuju takdir-Nya."
Desember 2014. Jalan Masjid no 6A. Senja samar-samar menyembunyikan aura sendu yang terlihat di wajah manisnya. Siluet yang berada di pelupuk mata, seseorang yang telah lama dirindukannya. Selalu hadir ketika hujan menyapa, dan ketika jingga terulas sempurna. “Lima hari lagi aku wisuda, doakan ya agar semuanya lancar.” “Tentu Kak, aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Apa Kakak pernah meragukannya?” Amri hanya tertawa mendengarnya. ‘Bagaimana bisa untuk meragukanmu, sedangkan rasa itu kamu ucapkan begitu jelas, Ra? Aku masih menyimpan semua surat-suratmu, di sini. Dan kujadikan semua itu sebagai peredam rindu. Ah, seandainya kamu tahu …’ Ia tertegun. “Kak? Masih di sana, ‘kan?” “Iya, aku selalu percaya kamu, aku harap pun sebaliknya.” “Tentu saja, Kak.” Lima menit kemudian percakapan usai, 'Aku merinduimu, di sini. Apa setelah wisuda kamu akan menemuiku kak?' Terasa hangat. Perasaan cinta yang dipendamnya mungkin mengalahkan dinginnya udara, malam menjelang menyisa jingga yang terlelap bersama pekatnya. Vara masih berkutat dengan naskah-naskah yang harus selesai esok hari. Ah, seandainya waktu dapat berhenti saat ini, ingin ia bernegosiasi terhadap detik jarum jam. Meminta ia menahan waktu yang telah terbuang percuma oleh rasa cemburunya yang berlebihan. “Nak, makan dulu ya, Bunda sudah siapin nasi goreng di atas meja. Bunda mau keluar dulu sama Ayah, mungkin pulang agak malam.” “Iya Bunda,” ada kata yang tertahan. “Ada apa?” Ibunya menatap Vara yang sejak kecil selalu diajarkan kejujuran olehnya. “Vara … Vara ingin ke Cilacap,” ujarnya seraya menunduk. “Bunda rasa jangan dulu kamu ke sana, Nak Amri belum menemuimu ‘kan? Ia telah berjanji, yang sekarang perlu kamu lakukan yakni menunggu janjinya ditepati.” “Tapi Bunda, Vara … Vara ingin menemuinya. Dia lima hari lagi wisuda, tepat di ulang tahun Vara, Bund…” Mata itu menatap dalam-dalam Ibunya, meminta izin. Namun nihil, ibunya sama sekali tak merespon permintaan hatinya dan malah meninggalkannya. Ia menangis. Sejadinya namun tanpa suara. Ini tangis paling hening, hatinya terluka. ‘Apa salah jika aku mencintaimu, Mas? Apa pemikiranku ini salah untuk menemuimu di sana? Tuhan, aku merindukannya.’ *** Mastana mausam hai rangeen nazaara Dhadkhan kya kehti hai samjhoo ishaara Aaj se jaaneman dil hai tumhaara Aaj se jaaneman dil hai tumhaara Lagu india sayup-sayup terdengar dari gadget pejalan kaki yang lewat menghentikan lamunannya. Amri izin keluar untuk mengambil uang di ATM Maos ditemani Adnan, teman sekamarnya, karena ATM di depan pondok offline untuk satu bulan ke depan. “Kamu mau beli apa, Am? Nggak biasanya ambil banyak banget,” “Nanti juga kamu tahu, kamu tunggu di sini sebentar ya.” “Hah? Panas Am, yee… Ntar aku ditinggalin lagi. Aku ikut aja deh, kamu mau ke mana sih?” “Tuh ke sana,” Adnan mengerjapkan matanya, kemudian mengikuti langkah Amri menuju sebuah toko. Ini adalah kesungguhan hati yang belum sempat dikabarkan pada yang terkasih, tentang sebuah rahasia yang tersimpan rapih. “Aku yakin ini akan jadi kado terindah untuknya,” Amri menggumam, Adnan yang berada di sampingnya hanya bisa manggut-manggut, meng-iyakan perkataan sahabatnya seraya tersenyum. ‘Jika hari ini adalah hari kebalikan, aku pasti akan berteriak pada dunia bagaimana aku sangat membencimu. Sayangnya hari itu tak juga hadir, dan kini raga itu tak sanggup menerjemahkan cinta lewat lisannya. Karena sekarang ia takut menodai kesucian cinta yang telah dimiliki. Aku kembali, pada ruas jalan yang sebagaimana aku melangkah menuju takdir-Nya. Maaf, bila sempat mengkhianati kita, dirimu dan secawan cinta yang sempat kuingkari dalam hati. Bagaimana bisa lupa, sedang dirimu ada di pikiranku? Bagaimana bisa ingkar, sedang janji itu masih tersemat manis di hati ini?’ *** 'Ah, apa yang kupikirkan ini, aku tak mungkin bersamanya, apalagi menemuinya. Tetapi rasa yang ada di hati ini mengharap untuk bertemu denganmu, Mas. Tak ada banyak kata yang ingin kudengar darimu, aku ingin seperti dulu, kita dekat iya dekat. Tapi dekat sebagai apa? Aku selalu takut untuk melukaimu dan berusaha untuk tidak mengungkap cinta lagi di depanmu. Apa berpura-pura tegar itu menyenangkan? Setidaknya aku mengetahui aku penting, hanya itu. Rindu kata 'sayang' yang kamu ucapkan. Bahkan dalam mimpi pun, aku mengkhayal kamu mengirim pesan dengan kata Sayang di dalamnya. Aku hanya terlalu merinduimu. Mungkin.' Vara kembali bermain-main dengan hatinya, sembari melemparkan kerikil-kerikil yang ada di sekitarnya. Restricted calling... Dilihatnya ada telepon dari nomor yang tak dikenal. "Wa'alaikumsalam? Maaf ini siapa?" "Apa kamu lupa dengan suaraku, Ra?" Degg... Tentu saja ia sangat mengenal suara itu, yang tak lain ialah Imran, mantan kekasihnya satu tahun lalu. "Ada apa lagi?" "Sebentar lagi kamu ulang tahun 'kan? Aku ingin bertemu denganmu." "Untuk apa? Jika kamu memintaku kembali, berarti kamu harus siap-siap untuk kecewa, maaf sudah ada yang memikirkanku di sana dan aku juga mencintainya, aku harap kamu mengerti dan jangan mengharap lagi, aku tak ingin menyakitimu lagi, Mas. Ada seseorang yang mencintaimu di sana, biarkan ia yang memilikimu, sebagaimana takdir berkata. Assalamu'alaikum." Klik. Ia tak menunggu jawaban salam dari Imran dan langsung masuk ke kamarnya. *** Subuh ini menyisa keharuan, bahkan aroma hujan masih saja dihirupnya sehabis hujan semalam. Vara masih terlelap di tempat tidurnya. Badannya agak demam karena kehujanan semalam. "Sayang, bangun..." Vara langsung membuka matanya, sepertinya ia mendengar suara Amri. Atau sekedar halusinasi. "Sudah Subuh, apa kamu nggak mau sholat sama aku?" Vara menoleh dengan penasaran. "Mas Amri?" "Kamu sakit apa? Kata Bunda kamu sakit." "Aku... Aku nggak apa-apa, kapan datangnya kok nggak bilang? Kenapa semalam aku nggak dengar kakak datang?" "Sst... Kamu sudah tidur semalam." Amri menatap kekasihnya. "Selamat ulang tahun, maaf membuatmu lama menunggu, tapi sekarang aku sudah ada di sini, kamu jangan pernah berpikir bahwa aku tak mencintaimu, maafkan aku, Sayang." "Sst, bagaimana bisa aku tak menunggumu, Sayang. Aku terlalu merindukanmu." Vara meletakkan kedua tangannya di pipi Amri. "Aku membawa sesuatu untukmu," Amri membuka sebuah kotak kecil. Satu cincin yang ia beli dari hasil tabungannya. "Apa kamu mau mencintaiku kini dan selamanya?" "Aku menerimamu menjadi pemilik hati ini untuk kini dan selamanya," Vara memberikan jemarinya, seraya tertunduk malu. Tok tok tok... "Waktunya sholat, Mas, Mbak. Kangennya dipending dulu ya," Arga tersenyum melihat kakaknya yang sedang bahagia. Setelahnya, angin Subuh ini mengabarkan bahwa cinta mereka masih terjaga, oleh kesungguhan, kesetiaan, dan kesucian hati. Gemericik air wudlu membasuh kegelisahan kedua hati itu. Dan sebagaimana mestinya, cinta tak pernah salah untuk menentukan kapan ia mulai dirasakan, atas kehendak-Mu. |
Main Menu
Kamis, 20 November 2014
Satu Kata
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar