I Will be Stay in Here
Oleh : Lavira Az-Zahra
Di bawah langit yang
sama, menunggu ikhwan yang sama pula.
Saat ini, mendung menyaput langit, apa hujan akan datang? Hati membiru,
tepatnya lebam karena aku jatuh di hatimu.
Masih terpatri dalam
ingatanku, senja di Teluk Penyu setahun yang lalu. Terucap janji setia, gemuruh
ombaklah saksinya. Dan benda yang kupegang ini adalah sebentuk kenangan yang takkan habis termakan waktu. Di sini, masih
kugenggam erat Sands of Time darimu, namamu terukir jelas di sana. -Dan kuyakin
kepingan yang lain masih kaujaga, seperti hatimu yang selalu menjaga cinta pada
bentang saujana yang menghalang netra.-
“Percayalah,Virra...
aku akan segera menjemputmu. Baik-baik di sana, tunggu aku di batas kota,”
Kuterima pesan ini tiga hari yang lalu. Tahukah kamu, Dir? Aku mempercayaimu,
dan kutahu cintamu bisa kau pertanggungjawabkan kepadaNya. Karena memang cinta
kita karenaNya.
Aku selalu menyebutmu
Lelaki Hujan, karena memang setiap untaian kata darimu selalu dapat
menenangkanku. Layaknya rintik itu yang membasahi bumi, dia tahu saat yang
tepat untuk meredakan panas yang meradang daratan.
***
Pekat, membunuh
malam. Kini sendiri menyepuh rindu, terpaku menerjemah sunyi yang membelenggu.
Kudengar rintik masih saja merinaikan rinduku. Ah, apa kau merinduku? Kau
pernah bilang kala kita berdua menghabiskan waktu, sebelum kau kembali ke
pondokmu. “Aku akan jadi hujan, Virra. Kau akan merasa aku hadir saat rintik
menyapamu.”
“Dan bila kemarau
panjang, apa hujan akan datang? Mustahil.” Ucapku teramat lugu, karena aku
merasa tak bisa jauh darimu. Takut kehilangan lebih jelasnya.
Dengan tegas
kaukembali meyakinkanku, “Apa kau meragukanNya?” pertanyaanmu membuatku yakin
cinta kita akan tetap menyatu karenaNya.
Aih, rintik mereda.
Padahal rindu ini masih menggebu. Dan ketika kumerindu seperti saat ini, ingin
rasanya kupanggil hujan tuk samarkan tangisku. Agar aku selalu menyatu denganmu
kala rintik berjatuhan, menebar wangi petrichol, seharum kasturi rindu. Berlabuh
dan berserah pada arus ombak yang membawaku terdampar di Teluk Penyu.
***
“Ini tanggal berapa?”
tanyaku padamu saat kita terhubung di line telepon sore itu.
“Tiga belas Mei,
Sayang. Ada apa?” aku yakin kau berpura-pura tak merespon pertanyaanku. Tiga
puluh detik kita berdiam. “Aku pasti menemuimu, setelah wisuda. Sabar Sayang.”
Lanjutmu dengan suara tergetar, jelas aku mendengar isak rindumu, Mas Dira.
Napasku tertahan,
sesak kembali meradang. Kugenggam erat Sands of Time, bulir hangat menitik di
senja yang terbalut rindu.
“I will be stay in
here, Dear.” Bisikku.
“Berjanjilah, untuk
sabar menunggu, percayalah Virra... aku akan segera menjemputmu. Baik-baik di
sana, tunggu aku di batas kota,” kau mengulangi janjimu kala itu.
Rintik tiba-tiba
menyapa, ah benarkah ini Mei? Serasa September ada di depan mata. Gemericik air
kudengar tegas seiring derasnya rindu di antaranya kita. “Aku sayang kamu.”
Ucapmu pelan, di tengah hujan. Dan kusadari hujan masih teramat setia kurasa.
Kota
Mustika, 14 Mei 2014*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar